Minggu, 09 Maret 2014

Puisi-puisi Angkatan Dua Puluh dan Pujangga Baru

Kemerdekaan sebagai cita-cita
Pada fase awal  Puisi-puisi Indonesia Modern (puisi-puisi M.Yamin dan Rustam Efendi) kemerdekaan dilihat sebagai sesuatu yang di rindukan, jauh, dan sayup-sayup. Mungkin ada keinginan didalamnya tetapi belum terlihat perjuangan dan sikap hidup yang menyertainnya. Keinginan hanya terlihat pada hasat yang besar untuk mengemukakan cita-cita (yang lebih bersifat kolektif, suara bersama). 
Akan tetapi hanya sampai disana. Tidak ada usaha pendobrakan terasa dalam puisi-puisi mereka, baik pendobrakan terasa dalam puisi-puisi mereka, baik pendobrakan dalam sikap maupun pendobrakan dalam pengungkapan dan struktur puisi. Agaknya inilah sebabnya kenapa mereka memilih bentuk-bentuk soneta (yang masih terikat) dalam pengungkapan puisi-puisi mereka.
Lihatlah Puisi M.Yamin berikut :


GEMBALA
Perasaan siapa tidaklah nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja di tengah padang
Tiada berbaju buka kepala

Beginilah nasib anak bangsa gembala
Berteduh di bawah kau nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah disenja-senja

Jauh sedikit, sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi seruni
Melagukan alam, nan molek permai

Wahai gembala di segala hijau
Mendengar puputan, menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau

(Pujangga Baru, Prosa dan Puisi:1963)

Atau lihatlah pada puisi Rustam Efendi ini :

Pucuk Kayu
Kalaulah diam malam yang kelam,
Kalaulah tenang sawang yang lapang,
Kalaulah lelap orang di lawang,
Akh, engkau nan masih lemah melambau.
Kalaulah tidur hati yang letih,
Lupalah susah dalam melayang,
Kalaulah lenyap keluh yang bimbang,
O, engkau nan masih berbuai-bui.

Betalah lah tahu apa kau rasai,
Karena beta sama mengenang,
Mencintai  buah yang kita kandung,
Mata nan sama kita mengurai,
Rahasia sama kita memegang,
O, pucuk, mari kita sama menung.
(Pujangga Baru, Prosa dan Puisi:1963)

Pada puisi-puisi pujangga baru (terutama pada puisi-puisi Amir Hamzah dan J.E Tatengkeng, dua penyair yang terkuat dari angkatan ini) kemerdekaan tidak lagi diungkapkan dalam cita-cita dan suara bersama, tapi sudah merupakan pernyataan yang paling dalam dari sebuah pribadi. Namun dilihat dari sudut ini, kemerdekaan dalam puisi-puisi mereka akhirnya mengimplikasikan ketidakberdayaan. Emosi yang paling dalam akhirnya sampai pada kehusukan. Kehusukan akan menghilangkan kesadaran . Jika saudah sampai pada taraf demikian maka kemerdekaan akan luluh bersama yang Maha Merdeka. Dalam puisi-puisi Angkatan Pujangga BAru kemerdekaan belum dijadikan tema, tapi sudah ada dalam sikap dan cita-cita, terutama pasa sikap untuk menyapaikan "ekspresi yang paling individual dan emosi yang paling individuil" (ungkapan yang sering mereka jadikan motto dalam pertanyaan-pertanyaan).
Dalam pemilihan kata , mereka lebih banyak mempertimbangkan faktor bunyi dan irama ketimbang faktor makna. Mereka asyik bermain-main dengan kata, sehingga akibatnya mereka sering pula dipermainkan oleh kata. Mereka bersedia mengorbankan makna yang tepat untuk kepentingan bunyi dan persajakan. Unsur musik dari sebuah puisi, mereka bina terutama dari hanya kemerduan bunyi.
Lihatlah puisi Amir Hamzah berikut :

BERDIRI AKU
Berdiri aki di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai pucuk
Berjuang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengepas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun diatas alas

Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengorak corak
Elang leka sayap terkembang
Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa maha sempurna
Rindu-rindu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mengecap hidup bertentu tuju
(Pujangga Baru, Prosa dan Puisi:1963)

Atau lihatlah puisi J.E.Tatengkeng ini :
Bagaikan banjir gulung gemulung,
Bagaikan topan seruh menderuh,

Demikian Rasa,
Datang semasa,

Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh,

Serasa manis sejak embun,
Selagu merduh dersiknya angin,

Demikian rasa,
datang semasa,

Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ketempat diingin

Jika kau datang sekuat raksasa, 
Atau kau menjelma secantik dunia
Kusedia hati,
akan berbakti

Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam dada Kau bertahta
(Pujangga Baru, Prosa dan Puisi:1963)

Jika terkesan bahwa puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru sebagai puisi gelap, maka sebabnya terutama adalah oleh kecenderungan untuk "bermain-main" dengan kata. Pada sisi yang lain (terutama pada penyiar-penyiar yang tidak kuat), puisi-puisi yang ditulis menjadi kehilangan kedalaman. Kecenderungan untuk bermain-main dengan bunyi dan irama tersebut dan menempatkan makna pada urutan sesudahnya, menyebabkan penyiar-penyiar yang tidak sekuat Amir Hamzah, hanya menghasilkan puisi-puisi yang enak di baca (keras), tapi tanpa makna yang dalam.
Bilamana puisi Angkatan Dua puluh Pujangga Baru ini dihubungkan dengan latar belakang zamannya, akan terlihat penghayatan terhadap kemerdekaan yang tergambar di dalam puisi-puisi tersebut punya kaitan dengan situasi zaman dan perjuangan pada waktu itu. Lahirnya pergerakan-pergerakan kebangsaan seperti Boedi Oetomo, serikat Dagang Indonesia, Taman Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain menempatkan masalah cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sesuatu yang penting. Sementara itu sejak sesudah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, cita-cita tersebut berubah menjadi lebih romantik. Dalam perjuangan kehidupan bangsa pada waktu itu, kemerdekaan belumlah dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak (Angkatan Dua Puluhan), tetapi tetap belum dipermasalahkan.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Perhatian : Untuk kebaikan bersama Dilarang menyisipkan Link Hidup.
jika cuma teks url blog/web atau isi di daftar tamu itu tidak menjadi masalah, kalaupun masih ada tentunya Pihak Admin akan Menghapusnya.